Hubungan antara Kesehatan Mental dengan Religiusitas

Hubungan Antara Kesehatan Mental Dengan Religiuitas

A. Kadar Religiusitas

1. Pengertian Religiusitas

“Harun Nasution mengemukakan Agama berasal dari kata al-din, religi (relegere, religare) dan agama. Al-din berati undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, balasan dan kebiasaan. Agama dianggap membawa peraturan-peraturan hukum yang harus dipatuhi. Agama menguasai diri seseorang yang mampu membuatnya tunduk dan patuh terhadap ajaran agamanya, serta menumbuhkan paham mengenai pembalasan bahwa barang siapa yang menjalankan perintah Allah SWT maka ia akan mendapatkan balasan sesuai apa yang ia kerjakan” (Nasution, 1986: 9).

Harun Nasution memberikan definisi bahwa kata religi atau relegere berarti mengumpulkan atau membaca. Dapat diartikan bahwa agama merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca, dipelajari dan diamalkan. Kemudian kata religare berarti mengikat. Agama bersifat mengikat antara manusia dengan Tuhan. Ikatan yang dimaksud berasal dari salah suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia sebagai kekuatan ghaib yang tidak dapat ditangkap dengan pancaindera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari (Jalaluddin,2000:12).

Dari beberapa konsep tentang pengertian agama tersebut maka muncul istilah religiusitas. Religiusitas adalah penghayatan nilai-nilai agama seseorang yang diyakini dalam bentuk ketaatan dan pemahaman agama secara benar serta diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan akhir. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak yang terjadi dalam hati seseorang (Ancok dan Suroso, 1994: 76).

R.H. Thouless (1992: 19) juga memberikan definisi agama yaitu proses hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang dipercayai sebagai makhluk atau wujud yang lebih tinggi daripada manusia. Adapun William James mendefinisikan agama sebagai perasaan dan pengalaman Bani Insan secara individual yang menganggap bahwa mereka berhubungan dengan apa yang dipandangnya sebagai Tuhan (Daradjat, 1970: 18).

Jadi, religiusitas adalah tingkat penerimaan atas aturan dari makhluk atau wujud yang lebih tinggi dari manusia itu sendiri. Sedangkan Glock & Stark (1966) memberikan definisi tentang agama sebagai sebuah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning) (Ancok dan Suroso, 1994: 76).

2. Dimensi Keberagamaan

Menurut Glock & Stark ada lima macam dimensi keberagamaan yang tebagi dalam tingkat tertentu dan mempunyai kesesuaian dengan Islam, antara lain:

a. Dimensi Keyakinan (Aqidah Islam)

Dimensi ini menunjuk pada seberapa tingkat keyakinan muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatis. Di dalam keberislaman, isi dimensi keimanan menyangkut keyakinan tentang Allah, para malaikat, Nabi atau Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka serta qadha dan qadar.

b. Dimensi Peribadatan (Praktek Agama)

Dimensi ini menunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam islam, dimensi peribadatan menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Qur’an, do’a, dzikir, ibadah qurban, i’tikaf di masjid di bulan puasa.

c. Dimensi Pengamalan atau Akhlak

Dimensi ini menunjuk pada seberapa tingkatan muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Dalam islam, dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerjaasama, berderma, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan , menjaga lingkungan hidup.

d. Dimensi Pengetahuan atau Ilmu

Dimensi ini menunjuk pada seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya, sebagaimana termuat dalam kitab sucinya. Dalam Islam, dimensi ini menyangkut tentang isi Al-Qur’an, pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Islam dan rukun Iman), hukum-hukum Islam dan sejarah Islam.

e. Dimensi Pengalaman atau Penghayatan

Dimensi ini menunjuk pada seberapa jauh tingkat muslim dalam merasakan dan mengalami pengalaman-pengalaman religius. Dalam Islam, dimensi ini terwujud dalam perasaan dekat dengan Allah, perasaan do’a-do’anya sering terkabul, perasaan tenteram bahagia karena menuhankan Allah, perasaan bertawakkal kepada Allah, perasaan khusyuk ketika melaksanakan shalat atau berdo’a, perasaan bersyukur kepada Allah (Ancok dan Suroso, 1994: 82).

3. Fungsi Religiusitas

Fungsi religiusitas bagi manusia erat kaitannya dengan fungsi agama karena agama merupakan kebutuhan emosional manusia dan merupakan kebutuhan alamiah yang terjadi dalam batin manusia. Menurut Jalaluddin (1995:233-236) fungsi agama bagi manusia meliputi:

a. Berfungsi Sebagai Edukatif

Dalam agama terdapat ajaran-ajaran agama yang harus dipatuhi oleh penganutnya. Ajaran tersebut mengandung unsur suruhan dan larangan mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing.

b. Berfungsi Sebagai Penyelamat

Agama mengajarkan kepada manusia untuk menyembah Tuhannya. Hal tersebut dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk sesuai ajaran agama masing-masing seperti abadah. Dan Tuhan akan memberikan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat, bagi siapa saja yang mematuhi perintahNya.

c. Berfungsi Sebagai Pendamaian

Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama. Rasa berdosa dan bersalah akan segera menjadi hilang dari batinnya apabila seseorang pelanggar telah menebus dosanya melalui taubat, pensucian ataupun penebusan dosa.

d. Berfungsi Sebagai Social Control

Para penganut agama sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya terikat batin kepada tuntunan ajaran tersebut, baik secara pribadi maupun secara kelompok. Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga agama dapat berfungsi sebagai pengawasan sosial secara individu maupun kelompok.

e. Fungsi Sebagai Pemupuk Rasa Solidaritas

Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan, yaitu iman dan kepercayaan. Rasa ini akan membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahkan dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh.

f. Fungsi Transformatif

Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan ajaran agama yang dipeluknya itu kadang mampu mengubah kesetiaannya kepada adat atau norma kehidupan yang dianutnya sebelum itu (Jalaluddin, 2000: 233-236).

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas

Thouless membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan menjadi empat macam, yaitu:

  1. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial) ini mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi sosial, tekanan-tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan itu.
  2. Berbagai pengalaman yang dialami oleh seseorang dalam membentuk sikap keagamaan terutama pengalaman-pengalaman seperti: keindahan, keselarasan dan kebaikan di dunia lain (faktor alamiah) seperti menjalin hubungan yang baik pada sesama dengan saling menolong, adanya konflik moral (faktor moral) seperti mendapatkan tekanan-tekanan dari lingkungan dan pengalaman emosional keagamaan (faktor efektif) seperti perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Tuhan.
  3. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi terutama kebutuhan terhadap keagamaan, cinta kasih, harga diri dan ancaman kematian.
  4. Berbagai proses pemikiran verbal atau proses intelektual dimana faktor ini juga dapat mempengaruhi religiusitas individu. Manusia adalah makhluk yang dapat berpikir, sehingga manusia akan memikirkan tentang keyakinan-keyakinan dan agama yang dianutnya.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi tingkat religiusitas seseorang yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternel meliputi pendidikan formal, pendidikan agama dalam keluarga, tradisi sosial yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan, tekanan-tekanan lingkungan sosial dalam kehidupan seseorang. Faktor internal meliputi pengalaman-pengalaman emosional keagamaan, kebutuhan seseorang yang mendesak untuk dipenuhi seperti kebutuhan akan rasa aman, harga diri dan cinta kasih.

B. Kesehatan Mental

1. Pengertian Kesehatan Mental

Menurut Kartini Kartono mental Hygiene atau ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental atau jiwa, bertujuan mencegah timbulnya gangguan atau penyakit mental dan gangguan emosi dan berusaha mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental serta memajukan kesehatan jiwa rakyat (Kartono,1989:3) Sedangkan Zakiah Daradjat mendefinisikan kesehatan mental, antara lain:

  1. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose).
  2. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan dimana ia hidup.
  3. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.
  4. Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.

Dari beberapa pengertian kesehatan mental di atas dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan-gangguan dan gejala-gejala penyakit jiwa, dapat menyesuaikan diri, dapat memanfaatkan segala potensi dan bakat yang ada semaksimal mungkin dan membawa kepada kebahagiaan bersama serta tercapainya keharmonisan jiwa dalam hidup.

2. Ciri-ciri Kesehatan Mental

Deskripsi tentang pribadi normal dengan mental yang sehat diuraikan dalam satu daftar kriteria oleh Maslow dan Mittelmann dalam bukunya “Principles of Abnormal psychology”, yang dikutip oleh Dr. Kartini Kartono sebagai berikut:

  • Memiliki rasa aman (sense of secirity) yang tepat, mampu berkontak dengan orang lain dalam bidang kerja, di tengah pergaulan (medan sosial) dan dalam lingkungan keluarga.
  • Memiliki penilaian diri (self evaluation) dan wawasan diri yang rasional, dengan rasa harga diri yang sedang, cukup, tidak berlebihan. Memiliki rasa sehat secara moril dan tidak dihinggapi rasa-rasa berdosa atau bersalah. Bisa menilai perilaku orang lain yang asosial dan non manusiawi sebagai gejala masyarakat yang menyimpang.
  • Punya spontanitas dan emosionalitas yang tepat. Dia mampu menjalin relasi yang erat kuat dan lama, seperti persahabatan, komunikasi sosial dan relasi cinta. Jarang kehilangan kontrol terhadap diri sendiri. Penuh tenggang rasa terhadap pengalaman orang lain. Dia bisa tertawa dan bergembira secara bebas dan mampu menghayati penderitaan dan kedukaan tanpa lupa diri.
  • Mempunyai kontak dengan realitas secara efisien, tanpa ada fantasi dan angan-angan yang berlebihan. Pandangan hidupnya realistis dan cukup luas. Dengan besar hati dia sanggup menerima segala cobaan hidup, kejutan-kejutan mental serta nasib buruk lainnya. Dia memiliki kontak yang riil dan efisien dengan diri sendiri (internal world) dan mudah melakukan adaptasi atau mengasimilasikan diri jika lingkungan sosial atau dunia luar memang tidak bisa menjalin “cooperation with the inevitable”, yaitu bersifat kooperatif terhadap keadaan yang tidak bisa ditolaknya.
  • Memiliki dorongan dan nafsu-nafsu jasmaniah yang sehat dan mampu memuaskannya dengan cara yang sehat, namun dia tetap tidak bisa diperbudak oleh nafsunya sendiri. Dia mampu menikmati kesenangan hidup (makan, minum, rekreasi) dan bisa merasa cepat pulih dari kelelahan. Nafsu seksnya cukup sehat, bisa memenuhi kebutuhan seks dengan wajar, tanpa dibebani rasa takut dan berdosa. Dia bergairah untuk bekerja dan dengan tabah menghadapi segala kegagalan.
  • Mempunyai pengetahuan diri yang cukup dengan motif-motif hidup yang sehat dan kesadaran tinggi. Dia cukup realistis, karena bisa membatasi ambisi-ambisi dalam bataskenormalan. Juga patuh terhadap pantangan-pantangan pribadi dan yang sosial. Dia bisa melakukan kompensasi yang positif, mampu menghindari mekanisme penbelaan diri (defence mechanism) yang negatif sejauh mungkin dan bisa menyalurkan rasa-rasa inferiornya.
  • Memiliki tujuan hidup yang tepat yang bisa dicapai dengan kemampuan sendiri, sebab sifatnya wajar dan realistis. Ditambah dengan keuletan mengejarnya, demi kemanfaatan bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya.
  • Memiliki kemampuan belajar dari pengalaman hidupnya, yaitu mengolah dan menerima pengalamannya dengan sikap yang luwes. Dia bisa menilai batas kekuatan sendiri dan situasi yang dihadapi guna meraih sukses. Akan dihindari semua teknik pembenaran diri dan pelarian diri yang tidak sehat dan ia sanggup memperbaiki metide kerjanya agar lebih efisien dan lebih produktif.
  • Ada kesanggupan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan dari kelompoknya, sebab dia konform dengan yang lain (tidak terlalu berbeda dan tidak menyimpang). Dia bisa mengikuti adat, tatacara dan norma-norma kelompok sendiri. Dia akan tetap ajeg memperlihatkan rasa persahabatan, tanggung jawab, loyalitas dan melakukan aktivitas rekreasi yang sehat dengan anggota lainnya.
  • Ada sikap emansipasi yang sehat terhadap kelompoknya dan terhadap kebudayaan, namun dia tetap memiliki originalitas dan individualitas yang khas, sebab dia mampu membedakan yang baik dari yang buruk. Dia menyadari adanya kebebasan yang terbatas dalam kelompoknya tanpa memiliki kesombongan, kemunafikan dan usaha mencari muka dan tanpa ada hasrat menonjolkan diri terlalau ke depan. Lagi pula dia memiliki derajat apresiasi dan toleransi yang cukup besar terhadap kebudayaan bangsanya dan terhadap perubahan-perubahan sosial.
  • Ada integritas dalam kepribadiannya, yaitu kebulatan unsur jasmaniah dan rokhaniahnya. Dia mudah mengadakan asimilasi dan adaptasi terhadap perubahan yang serba cepat dan punya minat pada macam-macam aktivitas. Dia juga punya moralitas dan kesadaran yang tidak kaku, namun dia tetap memiliki daya konsentrasi terhadap satu usaha yang diminati. Juga tidak ada konflik-konflik serius dalam dirinya dan tanpa diganggu oleh diasosiasi terhadap lingkungan sosialnya (Kartono,1989: 10).

Kriteria yang dikemukakan oleh Maslow dan Mittelman di atas merupakan ukuran ideal atau standar yang relatif tinggi. Seorang yang normal pun tidak akan bisa diharapkan memenuhi secara mutlak kriteria tadi. Oleh karena itu menurut Kartini Kartono normalitas atau kesehatan mental ditandai oleh:

  • Integrasi kejiwaan.
  • Kesesuaian tingkah laku sendiri dengan tingkah laku sosial.
  • Adanya kesanggupan melaksanakan tugas-tugas hidup dan tanggung jawab sosial.
  • Efisien dalam menenggapi realitas hidup (Kartono, 2000: 8-11).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mental banyak jenisnya, tetapi dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu:

  1. Faktor biologis

Para ahli telah banyak melakukan studi tentang hubungan antara dimensi biologis dengan kesehatan mental. Berbagai penelitian itu telah memberi kontribusi sangat besar bagi kesehatan mental. Karena itu, kesehatan mental tentunya tidak terlepas dari dimensi biologis ini. Faktor biologis yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental antara lain:

  • Otak

Otak merupakan bagian yang memerintah aktivitas manusia. Fungsi otak yang baik akan menimbulkan kesehatan mental bagi kita, sebaliknya jika fungsinya terganggu berakibat gangguan bagi kesehatan mental. Kesehatan pada otak sangat ditentukan oleh stimulus saat masa kanak-kanak dan perlindungan dari berbagai gangguan.

  • Genetik

Genetik merupakan unsur biologis manusia yang mempengaruhi kesehatan. Genetik yang sehat dapat menghasilkan perileku yang sehat, sementara gangguan genetis dapat memunculkan gangguan mental tertentu.

  • Sensori

Sensori merupakan alat yang menangkap segenap stimulus dari luar. Sensori termasuk pendengaran, penglihatan, perabaan, pengecapan dan penciuman. Orang yang terlahir dengan gangguan pendengaran, demikian juga orang yang menderita gengguan sensori penglihatan, juga mengalami gangguan dalam pembentukan kepribadiannya secara wajar, diantara keterbatasan dalam mengenal figurnya sebagai pusat identifikasi (Latipun,2002: 85).

  1. Faktor Lingkungan

Lingkungan ialah segala sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan manusia yang senantiasa berkembang. Lingkungan secara nyata juga mempengaruhi kesehatan mental. Adapun faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan mental seseorang yaitu:

1) Keluarga

Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama, tempat anak menerima pendidikan dan bimbingan orang tua atau anggota keluarga lainnya. Dalam lingkungan ini diletakkan dasar-dasar pengalaman melalui kasih sayang dan pembentukan pribadi anak (Daradjat,1996: 66). Sehubungan dengan hal di atas, Zakiah Daradjat mengatakan: “Orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang tumbuh”( Daradjat, 1996: 56).

2) Sekolah

Sekolah merupakan lingkungan kedua tempat anak-anak berlatih dan menumbuhkan kepribadiannya. Sekolah bukanlah sekedar tempat untuk menuangkan ilmu ilmu pengetahuan ke otak murid, tetapi sekolah juga harus dapat mendidik dan membina kepribadian si anak, di samping memberikan pengetahuan kepadanya. Karena itu adalah menjadi kewajiban sekolah pula untuk ikut membimbing si anak dalam menyelesaikan dan menghadapi kesukaran-kesukaran dalam hidup (Daradjat, 1996: 71).

3) Masyarakat

Masyarakat merupakan lembaga pendidikan ketiga setelah keluarga dan masyarakat. Banyak hal yang diterima anak dalam interaksinya dengan masyarakat, diantaranya pembentukan kebiasaan, pengetahuan, sikap, kesusilaan dan keagamaan. Masyarakat yang acuh tak acuh terhadap kondisi kejiwaan anak akan mengganggu mental anak tersebut.

  1. Faktor Psikologis

Faktor psikologis merupakan salah satu dimensi yang turut mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Kondisi psikologis yang kurang baik akan berakibat jelek bagi kesehatan mental, sementara kondisi psikologis yang baik akan memperkuat kesehatan mentalnya (Latipun, 2002: 110). Faktor-faktor psikologis itu antara lain:

  • Pengalaman Awal

Pengalaman awal merupakan segenap pengalaman-pengalaman yang terjadi pada individu terutama yang terjadi di masa lalunya. Pengalaman awal ini, dipandang oleh para ahli sebagai bagian penting dan bahkan sangat menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian hari (Latipun, 2002: 91).

  • Proses pembelajaran

Perilaku manusia sebagian besar adalah hasil belajar, yatu hasil pelatihan atau pengalaman. Dia belajar berlangsung sejak masa bayi terhadap lingkungannya. Karena itu faktor lingkungan anak sangat menentukan mentalitas individu. Interaksi individu dengan lingkungan sangat penting bagi pembentukan perilaku tertentu (Latipun, 2002: 104).

  • Kebutuhan

Pemenuhan kebutuhan dapat meningkatkan kesehatan mental seseorang. Orang yang telah mencapai kebutuhan aktualisasi, yaitu orang yang mengeksploitasi dan mewujudkan segenap kemampuan, bakat dan keterampilannya sepenuhnya, akan mencapai pada tingkatan apa. Yang disebut dengan tingkatan pengalaman puncak peack experience menurut Maslow pemenuhan kebutuhan merupakan faktor penting bagi kesehatan mental seseorang yang salah satu cirinya adalah persepsinya yang realistik terhadap semesta.

C. Hubungan Kadar Religiusitas dengan Kesehatan Mental

Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum yang harus dipatuhi oleh seseorang. Agama dapat menguasai diri seseorang dan membuat ia menjadi tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama. Ajaran-ajaran agama mempunyai sifat mengikat antara roh manusia dengan Tuhan serta mengikat manusia manusia dengan Tuhan (Nasution, 1985: 9). Kesehatan mental itu seharusnya dibina sejak kecil, agar .pertumbuhan berjalan wajar dan tidak ada gangguan. Tapi kadang-kadang orang tidak bernasib baik untuk lahir dan dibesarkan oleh orang tua yang mengerti dan dapat memberi kesempatan untuk bertumbuh ke arah mental yang sehat.

Pembinaan mental dapat terjadi melalui pengalaman-pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan yang ditanamkan sejak kecil oleh orang tua. Yang mulai dengan pembiasaan hidup sesuai dengan nilai-nilai moral yang ditirunya dari orang tua. Dalam membina mental, agama mempunyai peranan yang penting, karena nilai-nilai moral yang datang dari agama tetap, tidak berubah-ubah oleh waktu dan tempat. Demikian pula dengan agama, ia akan menjadi pengendali moral apabila dimengerti, dirasakan dan dibiasakan. Untuk membina kesehatan mental, baik pembinaan yang berjalan teratur sejak kecil, ataupun pembinaan yang dilakukan setelah dewasa agama sangat penting. Seharusnya agama masuk menjadi unsur-unsur yang menentukan dalam konstruksi pribadi sejak kecil. Akan tetapi, apabila seseorang menjadi remaja atau dewasa tanpa mengenal agama, maka kegoncangan jiwa remaja akan mendorongnya ke arah kelakuan-kelakuan yang kurang baik (Daradjat, 1975:78).

Daftar Pustaka

Nina Widiana, ā€œHubungan Antara Kadar Religiusitas Dengan Kesehatan Mentalā€ (jurnal)

Leave a comment